Edisi oktober: Pahlawan

Selasa, 11 Januari 2011




Mengingat Perjuangan Pahlawan Bangsa


Hari ini, berpuluh-puluh tahun yang lalu, sekelompok pemuda Indonesia dengan gagah berani, menyingsingkan lengan baju, bahu membahu, melawan para penjajah yang ditunggangi oleh Belanda melalui NICA dengan membonceng sekutu-nya, yang ingin menguasai kembali Indonesia setelah beberapa bulan memproklamirkan kemeredekaan. Saat itu tentara sekutu yang dipimpinInggris sesumbar hanya butuh 3 hari untuk meluluhlantakan Surabaya (yang menjadi medan pertempuran) dan membuat pasukan Indonesia menyerah, namun sekali lagi ketekunan dan kegigihan dengan semangat juang yang tinggi membuat tentara sekutu harus berusaha lebih dari sebulan untuk menguasai pertempuran. Pertempuran di Surabya membuahkan perlawanan rakyat lainnya di Jakarta, Bogor, Bandung, dan daerah lain di Indonesia. Hingga 4 tahun kemudian belanda mengakui kekalahannya dan menyatakan pengakuan kedaulatan Negara kesatuan republic Indonesia.. Sungguh sebuah usaha yang amat heroik dari para pemuda Indonesia waktu itu..!!

Kini setelah 65 tahun peristiwa tersebut yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan 10 November 1945, masih adakah di Indonesia pemuda – pemuda Indonesia yang memiliki semangat juang seperti yang dilakukan para pejuang dan pahlawan kita waktu itu? Masih tercolekkah rasa emosional kebangsaan kita, ketika ada rekan-rekan sebagnsa yang diperlakukan tidak adil, yanghidup miskin, yang masih dijajah dengan penjajahan model baru seperti ideology dan cara hidup bangsa lain yang seringkita dapat dari berbagai media, masih pedulikah kita akan nasib masa depan Indonesia? Masih adakah keprihatinan kita melihat saat ini sudah banyak terbangun tembok-tembok suku, agama, ras dan golongan? Dimanakah kepedulian kita?

Bangsa yang tidak memiliki pahlawan adalah sebuah bangsa tanpa kebanggaan. The Founding Father Indonesia mengatakan bagsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya. Karena itu kita yang mau disebut bangsa besar diberikankesempatan menghargai jasa para Pahlawannya dengan apa yang mampu kita buat sekarang. Belajar, berkarya dan berjuang mengentaskan kemiskinan, kemalasan dan kebodohan, memberantas akhlak yang bobrok, korupsi, kolusi dan sifat mementingkan diri sendiri.

Pahlawan menjadi sangat penting karena telah memberikan ragam inspirasi. Inspirasi yang luar biasa untuk memberikan semangat kepada generasi muda memperbaiki dan membangun kondisi negera kesatuan Republik Indonesia. Agar Indonesia menjadi bangsa yang dihormati dan disegani di kawasannya.

Dengan tidak panjang lebar,  Mathriq mengundang rekan-rekan perjuangan muda dan berjiwa muda untuk kembali mengenang perjuangan tanpa pamrih yang dilakukan para pemuda-pemuda pejuang dijaman kemerdekaan republik ini, dan biarlah  kemerdekaan yang telah direbut oleh para pahlawa menginspirasi kita sebagai pemuda-pemuda zaman sekarang untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan membangun sebuah bangsa yang besar dimulai dari diri kita sendiri.

Maju terus, jangan gentar, ayo tunjukkan kepedulian kita untuk Indonesia yang lebih baik.


Para Korban (HAM) Menolak Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan

Para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Talangsari, Lampung, menolak keras pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan menurut mereka akan melukai hati para korban.

"Kalau sampai pemerintah mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, itu artinya menyakiti hati kami. Berarti sudah tidak ada lagi keadilan," ujar Azwar Kaili, salah satu korban Talangsari.
Menurut Azwar, saat menjabat sebagai presiden, banyak kasus pelanggaran HAM yang diduga melibatkan Soeharto. Ia mengutarakan, untuk tragedi Talangsari saja, banyak orang yang belum diketahui keberadaannya hingga sekarang.

Ia berharap agar orang-orang yang hilang bisa segera diketahui keberadaannya. "Saya sudah menyampaikan kepada presiden bahwa kami menolak pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan waktu saya bertemu presiden beberapa waktu lalu di Istana," ungkapnya.

Edi Arsadat, korban Talangsari lainnya, menjelaskan, perkumpulan korban Talangsari telah melayangkan surat kepada Presiden SBY. Surat tersebut berisi penolakan korban Talangsari mengenai pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan.

Edi menganggap pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan akan menghilangkan tanggung jawab Soeharto terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masanya menjabat sebagai presiden. "Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka kasusnya akan diputihkan," tukasnya.

Edi pun meminta pemerintah untuk lebih berkonsentrasi terhadap penyelesaian kasus- kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Talangsari yang kini mandek di Kejaksaan Agung. "Kalau proses hukum sudah selesai, baru bicara tentang wacana pencalonan Soeharto sebagai pahlawan," tandasnya.

Nani Nurani, salah satu korban pelanggaran ketika Soeharto berkuasa, sakit hati mendengar kabar Soeharto dicalonkan mendapat gelar pahlawan nasional. "Jantung saya sakit rasanya. Berarti bukti bahwa policy pemerintahan SBY itu arahnya ke mana sudah ketahuan. Stigmatisasi sampai hari ini belum selesai, kok tiba-tiba Soehartonya mau jadi pahlawan. Hebat sekali ya. Kita itu bayar uang sampai sekarang. Dia seakan baik ya membangun. Tapi duitnya kan masuk ke kantong kantong anaknya juga kan. Itu menyakitkan kok saya kira. Pak SBY mudah-mudahan anda mendengarkan dan polisi anda jangan menyakiti kami rakyat kecil." 
 
Meski sakit hati, Nani mempersilakan Soeharto dijadikan pahlawan. Syaratnya seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto dibongkar tuntas.


Pak Mahmud: Kepala Sekolah Nyambi Pemulung

Mahmud yang ditemui di tempat pembuangan akhir sementara tepat di belakang rumahnya, saat itu mengenakan kaus oblong lengan panjang berwarna hitam dan celana selutut dengan warna senada. Dilengkapi pula oleh topi kupluk berwarna abu-abu. Di tengah kesibukan ia mempersilahkan saya menyambangi rumahnya. Kami pun masuk ke rumah berbentuk kotak dari bambu dan kayu lapis persis di dekat tumpukan sampah, “ladangnya” memulung. Yang membuat tertegun ialah, Mahmud ternyata seorang guru, bahkan tiga tahun terakhir menduduki jabatan Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di kawasan Pangadengan, Kalideres, Jakarta Barat.

Cinta Mengajar
Mahmud kecil ialah anak seorang nelayan dan penjaga tambak di bilangan Muara Angke, Jakarta Utara. Ketika memasuki usia remaja, ia sudah tertarik menjadi seorang guru. Keinginan itu dibarengi dengan masuknya ia di Pendidikan Guru Agama (setingkat sekolah menengah pertama). Mahmud bersama tujuh saudaranya hidup jauh dari berkecukupan, tak urung ia pun bersekolah seraya menggembala kerbau agar bisa membantu biaya sekolah. “Saat itu saya sudah senang sekali, bisa sekolah sekaligus membantu orangtua,” ujarnya menerawang.

Pada 1980, ia menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Aliyah (MA). Keberuntungan pun menghampiri bapak kelahiran 17 Maret 1960 ini, ia didapuk menjadi guru. Karena tekun menjalankan pekerjaannya, tak lama kemudian ia diangkat menjadi guru tetap dan mengampu mata pelajaran Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Bahasa Arab. Demi mengembangkan bidang ilmu lain, Mahmud tak ayal belajar otodidak untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, serta bekal melanjutkan ke Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI jurusan Matematika. “Saya nggak mengejar soal materi, tapi kecintaan saya pada anak-anak,” tambah Mahmud yang mengajar selama 30 tahun ini.

Yayasan yang mengelola sekolah tempat Mahmud mengajar terbilang lumayan besar dan membawahi sekolah MTs setingkat SMP dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru dan seorang staf.Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar dan sudah menjadi guru sejak 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. “Orang kadang-kadang tidak percaya, penghasilan saya tidak bisa mencukupi,” ujar Mahmud.

Bapak asal Jakarta ini mengajar tidak tanggung-tanggung sampai enam mata pelajaran karena tenaga pengajar susah sekali dicari. Mayoritas mereka berpikir ulang untuk mengajar karena masalah penghasilan. “Meski menjadi kepala sekolah, saya tetap mengajar, tapi porsinya berkurang dan jika ada guru yang tidak masuk,” ujarnya. Kalau sudah berhadapan dengan anak-anak, lanjut Mahmud, rasanya lega sekali. Banyak sekali kesan yang membekas di benaknya. Yang membuatnya prihatin dan tak tega selama mengabdi ialah acapkali tahun ajaran baru, banyak orangtua yang mengeluh lantaran harus membayar biaya sekolah. “Mendengar mereka menangis, rasanya jadi dilema. Kalau anak tak membayar sekolah, bagaimana dengan guru-guru yang mengajar, darimana mereka mendapat penghasilan,” tutur suami dari Ibu Jumiyati ini.
Kini, ia tengah memasuki masa pensiun tapi tetap ingin mengabdi dalam bidang pendidikan. Bentuknya dengan membuka semacam tempat belajar bagi anak-anak di rumah. “Mengajar di pendidikan formal kan ada batasnya, tapi di luar itu kita tetap bisa mengabdi,” ujarnya antusias.

Memulung Karena Kondisi
 
Berpijak dari penghasilan sekecil itu, akhirnya Mahmud mencari penghasilan tambahan. Apalagi tahun 2000, lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat mulai padat. Semakin bertambahnya warga, otomatis timbunan sampah juga menggunung. Lantaran itulah timbul inisiatif Mahmud untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemulung.
Ia memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi dari tempat pembuangan sampah sementara. Pagi sampai siang, pukul 06.30 hingga pukul 14.00, dia mengajar mata pelajaran mulai dari Agama, Matematika, Biologi, hingga Fisika dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya. Sedangkan sore hingga malam dia memulung.
alasanya memulung lantaran dipicu oleh kebutuhan rumah tangga yang mulai merangkak naik ketika anak-anak masuk sekolah. Awalnya berbagai usaha telah dilakoninya, mulai dari beternak, berkebun sampai sekarang ini memulung. “Jujur, awalnya saya tidak tertarik, karena aroma yang ditimbulkan dari sampah membuat saya pusing bahkan tidak bisa makan. Tapi, karena didorong rasa penasaran saya akhirnya mulai memulung,” ujar bapak yang memiliki motto “hidup harus bermanfaat bagi orang lain” ini.

Sebenarnya, lanjut Mahmud, bicara soal cukup atau tidak sifatnya relatif. Tetapi, ia merasakan sekarang ini hampir semua kebutuhan meningkat, bahkan air bersih saja sekarang harus beli, karena air sungai sudah tercemar limbah rumah tangga dan pabrik. Jika hanya mengandalkan penghasilan dari sekolah, semua pengeluaran tidak bisa tertutupi. “Saya percaya Tuhan sudah memberikan rezeki masing-masing bagi umat-Nya, kita tinggal berusaha untuk bekerja lebih keras,” harapnya optimis.

Tak Resah dengan Citra Pemulung
 
Mahmud tak lupa bercerita perihal pengalamannya pertama kali bersentuhan menjadi pemulung. Banyak pro dan kontra yang ditujukan padanya.Tapi yang paling membuatnya miris ia dituduh mencemarkan citra guru. “Apakah salah jika seorang guru berusaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi pekerjaan saya halal dan tidak merugikan orang lain. Saya menyadari jika profesi guru dan pekerjaan pemulung memang sangat kontras,” selorohnya prihatin.

Selama ini, tambah Mahmud, citra pemulung di mata masyarakat memang kurang baik. Tidak sedikit ditemukan pemulung yang bertindak merugikan, misalnya mencuri sendal atau barang lain. “Meski begitu, saya tidak merasa tersinggung sedikit pun, yang penting apa yang saya lakukan tidak merugikan dan menyusahkan orang lain,” ujar bapak dua putri dan satu putra ini. Menyikapi anggapan mereka, Mahmud hanya mengatakan “ya itu hak mereka, tokh pada akhirnya secara tidak langsung pekerjaan memulung juga sedikit banyak punya manfaat, khususnya untuk mengurangi sampah di sekitar tempat tinggal mereka”.




Visitors

google search